Disneyland 1972 Love the old s

Follow Us On


____




My Profil

Mukri Isnandar

Buat Lencana Anda



Menu

*Applications

*Games

*Mp3

*Ringtones

*Screen Saver

*Smileys

*Themes

*Videos

*Wallpapers

*Baca Al Qur'an

*Color Code

*Create Logo

*Edit Fhoto Online

*Intip Skrip

*Kamus Online (Copas)

*Rainbow Text Maker


C-Box


Sponsor

Web hosting
2012 Free Downloads
*
waplist.org
Free Guestbook

Statistic

Online : 1

Hits : 1 : 1 : 3645



Web hosting

Assikalabineng Kitab Persetubuhan Bugis

Mengukur Kejantanan dari Hembusan Nafas

Assikalabineng Kitab Persetubuhan Bugis Jika Anda pernah mendengar "Kamasutra" yang memuat tentang berbagai posisi dalam berhubungan badan, atau setidaknya kitab "Centini" dari keraton Jawa yang pada beberapa bagiannya memuat juga tentang tips dan etika dalam berhubungan seks, maka manuskrip kuno atau yang lazim disebut Rahasia Ilmu Seks Ala Lontara Bugis yakni "Assikalaibineng" pun bisa disebut juga sebagai manuskrip yang membahas hal yang sama dengan dua kitab kuno yang saya sebut di atas. Manuskrip kuno yang berisi tentang perpaduan seksualitas budaya bugis dengan etika Islam ini pada awalnya merupakan ilmu atau ajaran yang terbilang rahasia dan hanya diajarkan pada perkumpulan-perkumpulan tertentu seperti dalam perkumpulan tarekat dan sebagainya, sebelum akhirnya pada tahun 2009 manuskrip ini diterbitkan sebagai sebuah buku yang dapat anda perolah di toko buku terdekat. Penerbit buku ini adalah Ininnawa dengan judul yang sama, Assikalaibineng.

Lantas, apa saja isi dan kandungan yang terdapat dalam manuskrip Assikalaibineng ini? Manuskrip ini terbagi dalam beberapa bab yang pada tiap-tiap babnya mengupas antara lain tentang potensi ejakulasi dini, faktor kejiwaan yang mendorong seseorang untuk melakukan hubungan seksual, dan tips and triks seputar seksualitas seperti waktu yang baik untuk berhubungan intim, tips memanjakan pasangan selepas berhubungan intim, cara mudah merawat dan mengencangkan organ tubuh dengan memanfaatkan air mani yang keluar selepas berhubungan intim, pijat dan urut, mantra-mantra, dan sebagainya.

Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berhubungan suami istri. Akar kata yang sama dipakai juga oleh para petani untuk mengistilahkan awal masa tanam padi di sawah. Kenapa? Karena, seperti juga dalam kitab suci Al-Qur’an yang pada salah satu ayatnya menyebutkan sebuah perumpamaan yang manis bahwa istri-istrimu adalah sawah ladang bagimu, dan kitab ini pun lahir atas pengaruh dari ajaran Islam maka kiranya cukup jelas penjelasan di atas kenapa satu kata bisa memuat dua arti yang secara harfiah begitu berbeda. Dan memang, seperti lazimnya zaman ketika kitab ini ditulis bahwa yang berperan penting dalam sebuah hubungan intim adalah dari pihak laki-laki maka kitab ini pun baik dalam isi maupun penyajian lebih dihususkan sebagai pegangan bagi para suami dalam tugasnya di ranjang. Inilah yang sekaligus menjelaskan mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks ala Bugis-Makassar ini diajarkan terbatas ke calon mempelai pria, memilih momentum beberapa hari sebelum akad nikah.

Ajaran Kitab Persetubuhan Bugis ini diawali dengan pengetahuan tentang mandi, berwudlu, shalat sunah dan tafakur bersama sebagai prasyarat nikah batin, sebelum akhirnya menanjak ke tahapan lelaku badaniah, seperti bercumbu, penetrasi dan segala yang harus dilakukan setelah berhubungan intim. Dan karena, meski Assikalaibineng merupakan kitab yang berisi tentang ilmu-ilmu seksologi, tapi pendekatan yang digunakan adalah sisi tata kramanya, maka dalam aktifitas badaniyah ini disarankan untuk dilakukan dengan cahaya yang tidak benderang dan dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau kelambu. Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan Christian Pelras dalam bukunya, Manusia Bugis (Oxford: Blackwell, 2006) memang memiliki sarung khusus yang bisa memuat sepasang suami istri. Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat di pasar-pasar sandang kebanyakan. Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.

Seperti juga dalam Kamasutra, dalam Assikalaibineng ini pun mengenal istilah foreplay atau pemanasan sebelum penetrasi. Dalam Assikalaibineng untuk foreplay mengenal dua istilah yakni makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium). Dua kegiatan yang dilakukan oleh tangan dan mulut dalam foreplay ini adalah dengan mengeksporasi zona-zona erotis yang terdapat dalam tubuh wanita, yakni pada 12 titik rangsangan, dan rangkaian mantra (paddoangeng). Meraba lengan adalah titik pertama yang disarankan dikarawa, sebelum meraba atau mencium titi-titik lainnya. Pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda’ (pangkal leher), dan cekkong (tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam buku ini direkomendasikan di-karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay.

Setelah bagian badan tubuh, mulailah masuk di sekitar muka. Titik rawan istri dibagian ini disebutkan; buwung (ubun-ubun), dacculing (daun telinga), lawa enning (perantara kening dia atas hidung), lalu inge (bagian depan hidung). Di titik ini juga disebutkan, tahapan di bagian badan sebelum penetrasi langsung adalah pangolo (buah dada) dan posi (pusar). Dalam foreplay berupa makkarawa dan manyonyyo ini, buku menyarankan tetap tenang dan mengatur irama naffaseng (nafas). Karena kitab persetubuhan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al’jima atau ajaran berhubungan seks suami istri dalam syariat Islam, maka proses menahan nafas itu direkomendasikan dengan melafalkan zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah Taala.

Untuk orang-orang zaman sekarang mungkin akan sedikit janggal dengan ajaran berdzikir sambil bersenggama ini. Tapi jika membaca komentar dari penyusun buku ini bahwa adakalanya seorang suami ketika berhubungan intim biasanya lebih berfokus untuk mencapai titik klimaks dan akhirnya memungkinkan untuk ejakulasi dini, maka ajaran berdzikir (tentu saja dalam hati) ketika dalam bersenggama menjadi terasa masuk akal, karena setidaknya dengan tidak melulu berfokus pada keadaan mencapai titik puncak menjadikan sebuah hubungan badan lebih panjang dan dengan sendirinya kepuasan sang istri pun bisa dicapai.

Lantas bagaimana cara untuk membangunkan seorang istri ketika sang suami sedang ingin menyalurkan libidonya sementara sang istri sudah pulas, mengingat adakalanya jadwal tidur antara suami dan istri terdapat perbedaan? Dalam kitab ini diajarkan bahwa bila suami sedang ingin berhubungan maka sebaiknya suami memberi isyarat dengan cara mengangkat tangan kirinya dan kemudian menghembuskan nafas dari hidung. Jika nafas yang keluar dari lubang hidung kanan lebih kuat berhembus, maka pertanda kejantanan yang bangkit. Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih kuat, maka sebaiknya sang suami menunda lebih dulu (hal 141). “Dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas hidung yang lemah dan kuat berkaitan langsung dengan ilmu kelaki-lakian atau kejantanan seorang pria.” (thamzil thahir)

Muhlis Hadrawi, penulis buku ini, senantiasa mengingatkan di bagian awal, tengah, dan mengunci di akhir bab tulisannya, bahwa Assikalaibineng bukanlah ilmu pelampiasan hasrat biologis sebagai wujud paling alamiah sebagai makhluk saja. Penulis menggunakan istilah tasawupe’ allaibinengengnge untuk menjelaskan kedudukan persetubuhan yang lebih dulu disahkan dengan akad nikah dan penegasan kedudukan manusia yang berbeda dengan binatang saat melakukan persetubuhan. Ini juga sekaligus wujud penghormatan dan menjaga martabat keluarga dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah (hal 123).

Pada bagian awal bab tata laku hubungan suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari tujuh manuskrip Assikalaibineng yang menjadi rujukan utamanya menulis buku ini. Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun tata cara hubungan seks untuk suami-istri sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina Ali dan Fatimah. Muhlis memulainya dengan kisah perbincangan tertutup Ali dan istrinya, yang juga putri Nabi, di tahun ketiga pernikahan mereka. “Kala itu,” tulis Muhlis, “Fatimah mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali, “Apakah kamu mengira baik apabila tidak menyampaikan titipan Tuhan?” Ali kontan merasa malu dan sangat bersalah. “Ali mulai sadar kalau ia belum memberikan apa yang menjadi keinginan Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta Fatimah memberitahu keinginan Fatimah dan memintanya untuk mempelajarinya.”
“Fatimah pun merekomendasikan Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak Fatimah. Datanglah Ali ke Nabi Muhammad dan selanjutnya terjadilah transfer pengetahuan dari bapak mertua kepada anak menantu.” Transfer ilmu atau proses makkanre guru seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-Makassar, khususnya keluarga yang mengamalkan ajaran tarekat-tarekat.


Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa lelaku dan zikir Assikalaibineng tak terlambat untuk dipelajari. Memang idealnya, tata laku hubungan Assikalaibineng ini diajarkan di awal masa nikah, namun bagi mereka yang ingin mengamalkannya hanya perlu membulatkan tekad, untuk mengubah cara padangnya, bahwa hubungan suami-istri versi Islam yang terangkum dalam lontara ini, berbeda dengan literatur, hasil konsultasi, atau frequent ask and question (FAQ) soal seks yang selama ini sumber dominannya dari ilmu kedokteran Barat. Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi Seks atau Hawa Nafsu (hal 150), buku ini menyajikan laku zikir untuk mengiringi gerakan seksual dari pihak suami.

Seperti yang dikemukakan di atas bahwa, lelaku dzikir dan mengatur hembusan nafas ketika berhubungan intim sangatlah penting, karena disamping agar tak terlalu fokus pada pencapaian orgasme diri sendiri, juga agar gerakan dalam berhubungan intim pun tidak menjadi sedemikian vulgar. Secara rinci dari proses pengaturan nafas dan dzikir ini sendiri dijelaskan dalam beberapa uraian yang begitu indah dan sangat amasuk akal, seperti misalnya saat kalamung (zakar) bergerak masuk urapa’na (vagina) disarankan membaca lafal (dalam hati) Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas. “Narekko mupattamamai kalammu, iso’i nappasse’mu”. Sebaliknya, jika menarik zakar, maka hembuskanlah napasmu (narekko mureddui kalamummu, muassemmpungenggi nappase’mu), dan menyebutkan budduhung. Bahkan bisa dibayangkan karena babang urapa’na (pintu vagina) perempuan ada empat bagian, maka di bagian awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan sampai bagian kepala kalamummu lalu menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan disertai zikir, hanya untuk menyentuh “timungeng bunga sibollo” (klitoris bagian kiri). Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati saat bersetubuh akan sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan napas akan membuat daya tahan suami melebihi ekspektasi istri! (hal 80)

“Mupanggoloni kalamummu, mubacasi iyae / ya qadiyal hajati mufattikh iftahkna. / Pada ppuncu’ni katauwwammu pada’e tosa mpuccunna bunga’e (sibolloe) / tapauttmani’ katawwammu angkanna se’kkena, narekko melloko kennai babangne ri atau, lokkongi ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona makkunraimmu, majeppu mukennai ritu atau’., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo tellu / subhanallah.. /”
Artinya, “Arahkan zakarmu, dan bacalah ini / Ya qadiyyal hajati mufattikh iftakhna / kemudian cium dadanya,. lalu naikkan panggulnya, ketika itu mekarlah kelaminnya layaknya mekarnya kelopak bunga, masukkan zakarmu hingga batas kepalanya, dan bacalah subhanallah 33 kali”. (hal 144).


Penggunaan kata timungeng bunga sibollo sekaligus menunjukkan bagaimana para orang Bugis-Makassar terdahulu mengemas ungkapan-ungkapan erotis dalam bentuk perumpamaan yang begitu halus dan memuliakan kutawwa makkunraie (alat kelamin perempuan), dan ungkapan kalamummu (untuk zakar). (thamzil thahir)

Terapi Kelingking Untuk Tetap Langsing

Lapawawoi Karaeng Sigeri, Raja Bone yang terkenal cerdas, termasuk seorang suami yang mempelajari dan mengamalkan ajaran assikalaibineng. Stidaknya fakta ini dikonfirmasikan dari lontara Mangkau Bone Ke-31 ini yang secara rapi terdokumentasikan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta. Manuskrip asli ini pulalah yang menjadi satu dari 44 lontara rujukan utama Muhlis Hadrawi, penulis buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis, yang diterbitkan Penerbit Ininnawa, Makassar (2008). Secara teknis buku ini terdiri dari 189 halaman. Sebanyak 64 halaman terdiri dari transliterasi asli “kitab assikalaibineng” lontara ke dalam abjad melayu berikut terjemahannya. Inilah matan asli dari kitab tassawupe allaibainengengeng yang merupakan peninggalan leluhur Bugis-Makassar yang teleh terpengaruh dengan ajaran Islam. Karena buku ini merupakan disertasi untuk meraih gelar magister bidang filologi (ilmu tentang Bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa dalam bentuk manuskrip asli) di Universitas Indonesia, maka 51 halaman di bagian awal lebih banyak mendiskripsikan latar belakang, asal usul naskah, dan metodologi penelitian.

Sedangkan di bagian akhir, Tata Laku Hubungan Suami Istri, isinya lebih merupakan ringkasan, analisis, sekaligus komentar penulisnya, yang diperkaya dengan literatur penunjang. Namun, bagi pembaca awam yang tidak lagi mengerti Bahasa-bahasa Bugis terhadulu, justru bab akhir inilah yang membatu mendapatkan intisari dari manuskrip tua, yang hingga awal decade 2000, masih beredar di kalangan elite terbatas, masyarakat kita. Kepemilikan naskah ini oleh Lapawawoi yang kini dimuseumkan di Perpustakaan Nasional, tulis Muhlis, mempertegas sirkulasi ajaran ini selain dimiliki kalangan ulama/cendekia pesantren, pengetahuan ini juga milik bangsawan dan raja-raja Bugis Makassar.

Selain pengetahuan bersetubuh ala bugis, Kitab Persetubuhan Bugis, juga mengajarkan sistem rotasi waktu yang baik untuk berhubungan, dan tata cara perawatan tubuh bagi pihak suami dan istri. Tata laku dan tahapan ini semua dilakukan dalam satu rangkaian dan satu tempat. Untuk melangsingkan tubuh dan memperhalus kulits istri misalnya, suami tak perlu repot-repot menyisihkan uang dan mengantar pasangannya ke pusat kecantikan tubuh. Seperti spa center, steam room Jacuzzi, atau membayar kapster salon. Di kitab mengajarkan rutinitas kesederhanaan namun tetap dalam bingkai kerahasiaan, tidak diketahui oleh orang banyak. Untuk menjaga kebugaran tubuh, assikalaibineng misalnya merekomendasikan di kamar tidur dan massage (pijitan) rutin pasca-bersetubuh. Sedangkam untuk perawatan kulit, juga tak perlu cream pelembab atau whitening motion, Kitab ini mengajarkan manfaat penggunaan “air mani” sisa yang biasanya meleler di bagian luar babang urapa’ (vagina) istri dan kalamummu (zakar) pihak suami dan sejumlah mantra bugis-Arab, secara subtansial lebih merupakan niat, sekaligus ekspresi kasih-sayang suami kepada istri pasca-berhubungan.

Kitab ini menyindir perilaku suami yang langsung tidur lelap atau langsung meninggalkan kamar tidur, sementara istri belum mendapatkan kepuasan, biasanya akan membuat wanita terhina. Di kitab ini. Perlakuan itu diistilahkan dengan, teretta’ na narekko le’ba mpusoni (adab setelah persetubuhan).
“(h.75) . Rekko mangujuni ilao manimmu takabbereno wekka eppa/urape’ni alemu, nupassamangi makkeda; alhamdulillahahi nurung Muhammad habibillah./ nareko purano mualai wae, muteggoi bikka tellu, nareko purano, mualani minyak pasaula, musaularenggi kutawwamu apa napoleammengi dodong mupogaukangeki paimeng/Apa’ nasenggao manginggi’/ Aja mu papinrai gaumu denre purai mupogau, iya na ritu riyaseng temanginggi (hal. 157).
Kira-kira artinya : bebasnya, jika air manimu sudah keluar maka bertakbirlah empat kali. Kemudian turunkan tubuhmu dan ucapkan hamdalah dan pujian ke nabi Muhammad. Jika engkau sudah melakuklannya, maka lakukanlah perbuatan yang menyenangkan perasaanya. (h.76) sebagai tanda sayang. Jika usai minumlah air dengan tiga tegukan, dan ambilah minyak gosokdan urutlah kelaminmu agar tubuhmu pulih kembali dan agar jangan sampai kau lelah. Janganlah kamu mengubah perbuatanmu seperti yang kamu lakukan sebelumnya, demikianlah maka kamu akan disebut lelaki yang tidak merasa bosan dengan istrinya,’


Sedangkan tahapn selanjutnya, usai berhubungan, ambilah air mani dari liang fajri yang sudah bercampur dengan cairan perempuan. Letakakkanlah di telapak tangan mu, air mani dicampur dengan air liur dari langit-langit (sumur alqautsar) suami, sebelum mengusap air mani tersebut ke tubuh istri, terlebih dulu membaca doa dengan lafalan bugis, “waddu waddi, mani-manikang”. Mani riparewe, tajang mapparewe, tajang riparewekki...” (hal.158). Air mani basuhan ini bisa dipijitkan ke titik-tikik 12 rangsangan agar tidak kembeli berkerut, atau memijit bagian panggul dengan tulang kering di ujung bawah jari kelingking, untuk membuat tubuh istri tidak melar tapi tetap ceking.. (thamzil thahir).

Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam 5 Subuh

Teknik bertahan dalam persetubuhan menjadi hal yang sangat penting dan mendapat tempat khusus dalam Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak suami menjadi faktor kunci. Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar, konsentrasi, dan memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay. Manuskrip Assikalaibineng amat mementingkan kualitas hubungan badan ketimbang frequensi atau multi orgasme. Assikalaibineng adalah ilmu menahan nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu.

Namun pada intinya, Assikalaibineng bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk berhubungan badan, lebih dari itu assikalaibnineng adalah tahapan awal untuk membuat anak yang cerdas, beriman, memiliki fisik yang sehat. Inti dari ajaran ini adalah bagaimana membuat generasi pelanjut yang sesuai tuntutan agama. (h.151) Banyak teori seksualitas mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi sebagai puncak kenikmatan seksual bagi laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Perbandingannya delapan kali untuk suami, dan satu kali bagi istri. Bahkan, dapat saja seorang istri tidak pernah sekalipun merasakan orgasme seteles sekian kali, bahkan sekian lama hidup berumah tangga. “Assikalaibaineng, mengkalim bahwa ini terjadi karena pihak suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak mau tahu dengan lelaku seks yang mengedepankan kualitas.”

Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala Lumpur, dalam catatan kaki di halaman 164, Muhlis mengomentari“ ...Hampir 99 persen lemah syahwat (kelemahan nafsu jantan) adalah timbul dari sebab-sebab kerohanian. Emonde Boas, seorang dokter asal Amerika bahkan pernah melakukan penelitian, dari 1400 lelaki yang didata mengidap penyakit lemah syahwat, hanya tujuh yang lemah karena sebab-sebab jasmani, yang lainya karena sebab rohani atau psikologis,” Dia melanjutkan, “kejiwaanlah yang menyebabkan faktir terbesar sekaligus penggerak seseorang melakukan hubungan seks, sedangkan tubuh dan alat reproduksi hanya merupakan alat pemuasan bagi melaksanakan kehidupan kejiwaan seseorang. Sedangkan teknik mengelola nafas dengan zikir, cara penetrasi, dan menutup hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik rangsangan perempuan, dan menemani istri tertidur dalam satu selimut atau sarung merupakan bentuk akhir menjaga kualitas hubungan. Pengetahuan praktis seperti waktu yang baik dan kurang baik untuk berhubungan badan juga secara rinci diatur dalam kitab ini. “Tidak sepanjang satu malam menjadi masa yang tepat untuk bersetubuh.” (hal.166)

Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti warna kulit anak. Untuk memperoleh anak yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan setelah isya. Untuk anak yang berkulit hitam, persetubuhan dilakukan tengah malam (sebelum shalat tahajjud), anak yang warna klitnya kemwerah-memerahan dilakukan antara Isya dan tengah malam.
Sedangkan untuk anak berkulit putih bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan memperkirakan berakhirnya masa terbit fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya dilakukan usai solat subuh, antara pukul 05.15 hingga pukul 06.00 jika itu waktu di Indonesia. Ini sekaligus supaya mempermudah mandi junub.
Secara khusus kitab ini adalah menuntut pihak suami sebagai inisiator dan mengingatkan kepada istri, agar menyesuaikan waktu tidur dengan keinginan melakukan persetubuhan. Sebab ternyata, persoalan waktu amat berdampak secara psikologis maupun biologis, terutama pihak istri.
Teks assikalaibineng secara spesifik menyebutkan adanya kaitan waktu tidur istri dengan ajakan suami bersetubuh.


Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan, “bila suami mengajak istri berhubungan saat menjelang tidur, maka ia merasakan dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang (ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri). Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas, lantas suami membangunkannya untuk bersetubuh, maka istri akan merasa diperlakukan laiknya budak seks, yang disitilahkan dengan ripatinro jemma”. Soal bangun membangunkan istri yang tidur pulas, assikalaibineng juga memberikan cara efektif. Kitab ini sepertinya tahu betul, bahwa jika usai orgasme sang istri biasanya langsung tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa mengambil air, lalu mercikkan satu dua tetas ke muka istri. Setelah istri terbangun, lelaki memberikan pijitan awal di antara kening, mata, menciumim ubun-ubun, memijit bagian panggul lalu bercakap-cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri akan selalu diingat dan membuatnya. (thamzil thahir)

Click here